20 Maret 2009

Dalam kalteng pos hari ini ada sebuah artikel yg membahas bhwa betapa srngnya seorang dokter anak melakukan pembodohan pd pasien. Apa yg mrka lakukan??
Tentu srng kita mendgr istlah “flek paru”. Istilah flek paru seringkali digunakan seorang dokter,bhkan dokter spesialis anak, untuk menyatakan bhwa anak tersebut terkena TB paru. Seolah-olah istlah TB paru memang merupakan suatu penyakit yg memalukan shg hrs diganti dgn istlah flek paru. Kebnyakan orangtua pasien tdk mngerti bhwa anaknya yg dikatakan terkena flek paru tsb adl TB paru, karena keluarga biasanya sulit menerima jika dikatakan anaknya terkena TB paru/TBC. Mrka hanya mengerti bhwa anaknya diberi obat yg menyebabkan kencing berwrna merah, yg berarti mendpt terapi Rifampisin, sbg terapi utk TB paru. Shg dgn seringnya digunakan istlah flek paru ini, masyarakat mjd tdk mengerti bhwa berbahayanya penyakit ini dan membutuhkan pengobatan rutin selama min 6 bln. Jd prcuma saja dipromosikan ttg TB paru, la wong dokternya saja mengatakan “flek paru”, tentu masyarakat tdk akan prnah mengerti, shg tjdlah ‘drop out’ terapi.
Skrng begitu mudahnya seorng dokter umum,bhkan dokter spesialis utk menyatakan bhwa seorng anak terkena TB paru/flek paru. Pdhl seperti yg kita tahu, begitu sulitnya menegakkan diagnose penyakit ini pada anak, krn gold standard pemeriksaan BTA sputum pd anak sulit utk dilakukan, tidak sprit pd orng dwsa. Shg digunakan bbrp criteria utk menegakkan diagnose, diantaranya berat badan,batuk lbh 3 mgg, tes tuberculin, rwyat kontak,foto rontgen,demam,pembesaran kelenjar,yg kemudian digunakan scoring.
Tp seringkali pd kenyataannya,dokter hanya menentukan diagnose berdsrkan foto rontgen paru tanpa tes tuberculin. Pdhal foto thorax pd anak sulit utk diindentifikasi,krn gambaran yg tdk begitu khas, dan seringkali mirip dgn kelainan paru lainnya.
Kira2 apa yg akan tjd pd anak kita, hrs meminum obat TB sekian lama,pdhal sbnarnya tdk terkena TB?
Pengobatan TB sbnarnya mudah dilakukan kalau memang anak tersebut positif terkena TB paru. Pemerintah sdh menyediakan dalam bentuk paket pengobatan baik berupa Kombipak maupun FDC, yg dpt diperoleh scra gratis di tempat pelayanan kesehatan, bhkan dipuskesmas, di daerah sgt terpencil sekalipun. Saya PTT selama lbh dari 2 thn di desa Tumbang Sangai,kabupaten Sampit,kalteng. Disana tidak ada foto rongent maupun tes tuberculin. Jd kami sebagai dokter benar2 dituntut utk mendiagnosa scra klinis berdasarkan scoring criteria di atas. Begitu byk kasus yg dijumpai disana, dan begitu byk pula yg ‘drop out’. Ini tantangan bagi kita, bagaimana menyakinkan orangtua dan keluarga bhwa penyakit ini bisa sembuh dgn pengobatan yg baik dan teratur. Tugas kita memperkenalkan penyakit ini dengan benar,bkn lagi menggunakan istlah ‘flek paru’ atau apapun,tp gunakan istlah TB paru/TBC, utk memulai menghilangkan paradigma yg salah ttg penyakit ini. Sehingga TB paru bukan lagi menjadi hal yang memalukan. This is our job!!!

2 komentar:

  1. ya, banyak penyebab terjadi apa yang kamu ceritakan di atas.
    dari sisi dokter, mungkin dokter memilih sebutan flek paru mungkin karena kata tsb dianggap lebih mengerti bgi orang awam, atau agar tidak membuat pasien malu, tapi mmg bisa juga untuk menimbulkan sdikit ketakutan pada pasien, atau memang sdg keburu-buru gak mau ditanyai pasien rumit-rumit apalagi msh banyak antrian pasien di belakang. mungkin juga dibuat diagnosis yg agak ngambang agar tidak disalahkan sejawat lainnya...
    dari sisi pasien mungkin pasien merasa atau memang mempunyai segala keterbatasan sosial pendidikan ekonomi dan tutur bahasa sehingga pasien seolah-olah terhalangi untuk dapat memberikan argumentasi atau bahkan sekedar menyampaikan pertanyaan mereka.. apalagi sdikit banyak mash tertanam dalam kultur qta bawwa seorang dokter adalah seseorang yg lebih, superior, sibuk, dan kata2nya tabu untuk dipertanyakan..
    TB anak memang masih menjadi PR yang sangat besar buat qita semua..
    maybe its hard to solve...but together we can...
    lets do the small thing with the great heart..
    Red.

    BalasHapus
  2. Di Jawa Pos hari ini, 21 Maret 2009, dimuat berita tentang Menkes qta melarang beredarnya vaksin2 dari luar negri selain empat vaksin rutin yang telah disahkan pemerintah untuk anak indonesia. ditakutkan vaksin2 tersbut hanya merupakan politik perdagangan produsennya dari luar negri. dan diduga belum diteliti secara evidence base untuk anak2 indonesia.
    komentar?

    Red.

    BalasHapus